ORGANICJUICEBARDC – Kasus Mary Jane Veloso, seorang warga negara Filipina yang terjerat dalam masalah hukum terkait narkoba di Indonesia, telah menarik perhatian luas masyarakat dan pemerintah. Waka Komisi XIII DPR RI baru-baru ini mengungkapkan keprihatinannya mengenai dasar hukum yang digunakan dalam proses penyerahan Mary Jane ke Filipina. Artikel ini akan membahas lebih dalam tentang isu ini, menelusuri dasar hukum yang mungkin terlibat, serta implikasi sosial dan politik dari kasus ini.

Mary Jane Veloso ditangkap di Indonesia pada tahun 2010 setelah ditemukan membawa heroin. Pada tahun 2015, ia dijatuhi hukuman mati, tetapi eksekusi tersebut ditunda setelah munculnya sejumlah bukti baru yang menunjukkan bahwa ia adalah korban penipuan dan dijadikan kurir narkoba tanpa sepengetahuannya. Kasusnya telah menjadi sorotan internasional, dengan banyak organisasi hak asasi manusia menyerukan agar Indonesia membatalkan hukuman mati yang dijatuhkan kepada Mary Jane.

Salah satu pertanyaan utama yang diajukan oleh Waka Komisi XIII DPR adalah mengenai dasar hukum yang digunakan untuk memutuskan penyerahan Mary Jane kepada pihak Filipina. Menurut UU No. 22 Tahun 1997 tentang Narkotika dan UU No. 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika, Indonesia memiliki kewajiban untuk menangani kasus narkoba dengan tegas. Namun, penyerahan seseorang ke negara asalnya dalam konteks kasus narkoba tidak diatur secara eksplisit dalam hukum tersebut.

Pengacara Mary Jane berargumen bahwa penyerahan ini harus didasarkan pada prinsip keadilan dan kemanusiaan, terutama mengingat bahwa Mary Jane telah mengajukan permohonan untuk diperlakukan sebagai korban dalam kasus ini. Dalam konteks hukum internasional, terdapat prinsip non-refoulement yang melarang pengembalian individu ke negara asal yang dapat mengancam keselamatan mereka. Ini menjadi pertimbangan penting dalam kasus Mary Jane, mengingat situasi hukum di Filipina yang mungkin tidak memberikan perlindungan yang sama.

Penyerahan Mary Jane ke Filipina tidak hanya menimbulkan pertanyaan hukum, tetapi juga implikasi sosial dan politik yang lebih luas. Di satu sisi, ada kekhawatiran bahwa penyerahan ini dapat menciptakan preseden bagi kasus-kasus serupa di masa depan, di mana individu yang terlibat dalam kasus narkoba dapat kembali ke negara asalnya tanpa mempertimbangkan keadilan yang seharusnya mereka terima.

Di sisi lain, penyerahan ini juga dapat dilihat sebagai langkah positif dalam upaya kerjasama internasional dalam menangani masalah narkoba. Pemerintah Filipina telah berjanji untuk memberikan perawatan dan rehabilitasi kepada Mary Jane, yang dapat dilihat sebagai langkah menuju keadilan. Namun, tantangan tetap ada, terutama dalam hal memastikan bahwa Mary Jane tidak akan menghadapi hukuman yang tidak adil di negara asalnya.

Kasus Mary Jane Veloso mencerminkan kompleksitas masalah hukum, sosial, dan politik yang terkait dengan penanganan kasus narkoba di Indonesia dan Filipina. Pertanyaan mengenai dasar hukum penyerahan Mary Jane menjadi penting untuk dibahas, tidak hanya untuk kepentingan individu tersebut, tetapi juga untuk masa depan kebijakan hukum yang lebih adil dan manusiawi. Diskusi yang lebih luas di antara para pemangku kepentingan, termasuk pemerintah, pengacara, dan organisasi hak asasi manusia, sangat diperlukan untuk memastikan bahwa keadilan dapat ditegakkan bagi semua yang terlibat dalam kasus-kasus serupa. Dengan mempertimbangkan semua aspek ini, diharapkan akan ada langkah-langkah yang lebih baik dalam menangani kasus narkoba di masa depan, yang tidak hanya berfokus pada hukuman, tetapi juga pada pemulihan dan keadilan bagi para korban.